Kategori
Anak
Oleh : Jacinta F. Rini
Jakarta, 11 Januari 2012
Oleh : Jacinta F. Rini
Jakarta, 11 Januari 2012
Masa
anak-anak adalah masa di mana mereka belajar mengenal dunia lewat bermain.
Bermain menjadi sarana sekaligus jembatan antara apa yang ada dalam alam
fantasi mereka dengan apa yang (bisa) mereka wujudkan. Anak tidak melihat
permainan sebagai "bermain" sebagaimana orang tua atau orang dewasa
menganggap bermain adalah sesuatu yang tidak riil. Anak-anak yang lebih kecil
menganggap bermain adalah sebuah realita seperti halnya orang dewasa bekerja,
bersekolah, membereskan rumah, dsb. Bermain adalah dunia dimana mereka berada
dan memberi makna terhadap segala sesuatu yang mereka hadapi dalam permainan
itu.
Dalam
acara bermain, anak-anak bisa belajar mengenali apa yang bisa mereka lakukan
sendiri dan mana yang perlu bantuan orang tua. Anak-anak belajar mengukur
kemampuan diri dan mengukur tantangan yang ada. Bahkan menurut penelitian yang
dilakukan Lewis (2000), anak-anak usia 1-6 tahun belajar mengembangkan
kemampuan problem solving dari bermain; karena bermain menghadirkan
berbagai konteks dan situasi yang harus mereka hadapai on the spot.
Lewat bermain, anak menemukan cara-cara kreatif dan unik dalam mengatasi
masalah.
Sebenarnya
jika diringkas, banyak sekali manfaat bermain bagi anak, selain yang sudah
disebutkan di atas. Sebuah studi yang dilakukan dalam kurun waktu
bertahun-tahun menemukan anak yang ketika kecil (usia 4 tahun) gemar bermain blocks
atau lego, ketika SMA memperlihatkan kemampuan matematika yang lebih tinggi.
Problem
anak dalam kegiatan bermain
ini,
bermain menjadi kurang bermakna dan kurang manfaatnya, dan bahkan terlalu
banyak kerugiannya. Apakah yang salah dengan bermain ini ?
1. Tidak jelas tujuannya Kita sering
menjumpai anak-anak yang bermain just for killing time, menghabiskan
waktu, entah karena kurang kegiatan atau menunggu orang tua, supir atau
jemputan. Masalahnya, permainan favorit untuk killing time adalah game
atau sejenisnya yang tersedia di handphone atau smartphone, ipad,
dst. Ada yang baik, tapi lebih banyak yang destruktif, seperti game yang
berdarah-darah, pukul-pukulan, tembak-tembakan, yang membuat pemainnya puas
kalau sudah bisa membunuh sebagai solusi satu-satunya dan mendapat reward
yang paling besar.
Dalam
Journal of Adolescence 27 (2004) 5-22 memuat hasil penelitian dampak hostile
video game terhadap remaja. Sebagai permainan yang "paling digemari"
abad ini, game yang hostile ternyata membuat remaja lebih hostile,
agresif dan kasar, dalam berargumentasi dengan guru/authority figure dan
lebih sering terlibat perkelahian fisik serta membuat prestasi belajar
memburuk. Fenomena di Indonesia dewasa ini, anak-anak kecil usia sekolah dasar
bahkan TK sudah di expose oleh permainan-permainan hostile lewat game
dan TV. Dengan temuan itu, dapat dibayangkan bagaimana jadinya anak-anak masa
depan kita.
2. Tidak sesuai medianya dan kebutuhan anak Kita lihat banyak beredar game yang tidak peduli kategori usia, yang penting laku keras. Padahal, permainan hostile itu untuk dewasa. Sama halnya dengan tontonan TV, meski pun itu film Popeye atau pun Mr Bean bahkan Tom and Jerry, Sponge Bob, Bart Simpson, film-film tersebut banyak menayangkan plot, alur cerita, atau kejadian yang tidak cocok dikonsumsi anak-anak kecil yang dalam proses pembentukan nilai. Film-film itu sebenarnya miniatur orang dewasa, sehingga alhasil anak-anak benar-benar menjadi miniatur orang dewasa karena meniru tokoh kartun di TV yang dibuat ala pikiran (dan delinquency-nya) orang dewasa.
3. Tidak ada engagement atau keterlibatan Kerap terjadi, anak-anak disuruh bermain dan diberi permainan agar tidak mengganggu atau merepotkan orang dewasa/orangtua. Ada orangtua yang enggan bermain dengan anak, karena sibuk, atau tidak nyambung dengan anaknya karena perbedaan dunia yang tak (mau) diselami.
Baby sitter atau mbak, tidak selalu jenis yang mau dan mampu menyelam
ke dalam dunia anak, karena sebagian menganggap tugas utama adalah menjaga dan
melayani dalam arti harafiah. Ketika permainan dilakukan tidak dengan hati,
maka proses bermain menjadi lebih hambar. Dalam kehambaran itulah, tidak
terbangun kepekaan dan empati yang sebenanarnya bisa diasah lewat bermain.
Alhasil anak mudah bosan dan mudah frustrasi. Sebaliknya, dalam permainan yang
engaging, akan ada diskusi dua arah yang membuka kemungkinan solusi. Bermain
mobil-mobilan, polisi-polisian, pemadam kebakaran, masak-masakan, semua yang
"biasa-biasa" bisa menjadi hidup dan menarik jika pemainnya terlibat
secara emosi dan tentunya, fantasi. Tanpa keterlibatan jiwa raga, permainan
mahal pun belum tentu mampu menghadirkan makna dan dampak yang buruk bagi anak
Edward
Fisher seorang psikolog menemukan keterkaitan antara bermain dengan
perkembangan ketrampilan berbahasa. Ia menemukan bahwa bermain role play,
meningkatkan kemampuan kognitif-linguistik dan sosial afektif anak. Itu
sebabnya bermain dengan hati menjadi penting untuk menciptakan suasana bermain
yang hidup dan menyenangkan.
Kendala
Anak Untuk Bermain
Beberapa hal yang sering menjadi
kendala anak dalam bermain, adalah kurangnya area bermain seperti tempat lapang
dan rerumputan yang kini sangat langka terutama bagi anak-anak perkotaan.
Sarana permainan yang bisa dinikmati dan dimanfaatkan publik pun hampir tidak
tersedia, kecuali ke arena bermain di mall dan harus membayar. Selain persoalan
di atas, ada kendala yang lebih krusial dan substansial karena kendala tersebut
ada di hadapan mata dan terjadi hampir setiap hari tanpa disadari oleh para
orangtua. Kendala yang bisa diistilahkan sebagai inhibitor, yakni :
1. Ketakutan orangtua
"Awas
jatuh!", "Jangan, pokoknya nggak boleh naik-naik",
"awas bisa tergelincir lho". Banyak ungkapan yang disuarakan
orangtua ketika sedang bersama anaknya di tempat umum. Sikap orangtua yang overprotective,
membuat anak kurang percaya diri dan tergantung. Kecemasan dan ketakutan
orangtua terbaca oleh anak sebagai ekspresi ketidakpercayaan mereka terhadap
kemampuan anak mengatasi situasi saat itu. Mekanismenya demikian, ketika
orangtua tidak percaya pada anak, pada akhirnya anak meragukan dan
mempertanyakan kemampuan mereka. Selanjutnya, anak akan membatasi diri sebelum
mereka mengeksplorasi kemungkinan dan kesanggupan, before they reach their
upper limit. Inilah yang menjadi sumber inferioritas dan rendahnya harga
diri.
2. Nilai
Nilai
yang dimiliki dan diyakini orangtua berpengaruh terhadap anak. Sebagai contoh
ada seruan "anak laki tidak boleh masa-masakan, nanti jadi
homo". Sementara konsep homo sendiri jauh dari jangkauan pikiran
anak-anak yang masih innocence. "Anak perempuan kok manjat-manjat,
ayo turun, kamu bukan anak laki". Sebagian orangtua menganggap mendidik
anak harus keras dan anak harus dibatasi sebagaimana tradisi keluarga. Orangtua
ini akan menghalangi proses eksplorasi anak terhadap dirinya dan dunia serta
masa depannya.
3. Ego
"Jangan
main di pantai, panas, nanti mama jadi hitam" atau "Nonton acara mama
saja, lebih seru daripada nonton kartun" atau "Main sama Mbak sana,
papa sedang sibuk nih, ini lebih penting soalnya!". Tanpa disadari,
kebutuhan dan keinginan orangtua berlomba dengan kebutuhan anak, untuk
direalisasikan. Situasi ini sebenarnya mendudukkan orangtua menjadi
kekanak-kanakan dan mendudukkan anak menjadi yang lebih tua karena akhirnya
anaklah yang mengalah demi orangtua.
Apa yang akan terjadi jika anak kekurang waktu untuk bermain?
Jika
dibiarkan, proses learning by doing and experiencing menjadi terhambat
karena terkendala berbagai hal. Sementara, ada banyak tugas perkembangan yang
harus dijalankan oleh anak-anak kita dalam rangka pengembangkan berbagai
komponen yang sangat krusial bagi proses pertumbuhan, kematangan dan
keberhasilan hidup mereka di masa mendatang. Komponen tersebut adalah :
- Kemampuan survival,
yakni kemampuan untuk bertahan dan keluar sebagai pemenang dalam
kehidupan, mampu mengendalikan kehidupan dan tidak membiarkan diri menjadi
korban keadaan.
- Kemampuan empati, kemampuan
untuk memahami keadaan, perasaan, kesulitan, keterbatasan dan kemanusiaan
orang lain, sebagaimana ia memahami dirinya sendiri
- Kemampuan mengelola emosi,
yakni kemampuan mengolah perasaan, hingga mempunyai kepekaan rasa dan
ketajaman intuisi
- Kemampuan beradaptasi,
kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar maupun hal-hal
baru
- Kemampuan bertumbuh, kemampuan
untuk terus mencari dan melakukan pertumbuhan, untuk keluar dari rasa
nyaman (comfort) untuk menemukan sesuatu yang lebih baik.
- Kemampuan recovery dan
rekonstruksi, kemampuan bangkit dari kegagalan, belajar dari kegagalan
maupun memperbaiki kesalahan
- Kemampuan mencari yang hakiki,
mencari keutamaan sejati, kemampuan untuk membedakan, apa yang terutama
dan utama dalam hidup ini, apa yang menjadi impian dan panggilan hidupnya
kelak.
- Kemampuan membangun nilai
infrastruktur, kemampuan untuk mengadopsi dan menginternalisasi
nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi dalam bersikap dan bertindak.
Solusi Bermain Dengan Asik
Sampai kapanpun, anak akan
membutuhkan bermain, oleh karenanya, tantangan untuk menghadirkan permainan dan
waktu bermain yang berkualitas adalah tantangan bagi orangtua modern. Solusi
untuk bermain di jaman modern ini tidaklah terlalu sulit untuk dijalankan
meskipun terkendala arena maupun sarana. Semua itu adalah nomer 2, yang
terpenting adalah keterlibatan orangtua (dan pengasuh), hubungan yang terjalin
antara orangtua dengan anak serta kreativitas orangtua atau pengasuhnya dengan
anak yang diajak bermain. Pada dasarnya semua anak kreatif, namun orang dewasa
kerap kehilangan kreativitas dan kehilangan minat serta daya fantasi untuk
bermain mengikuti irama anak. Ada beberapa prasyarat untuk mengupayakan
terjadinya permainan yang seru dan berkualitas :
- Lepaskan keinginan "Jaga Image".
Jaga image memperbesar jarak dengan anak sehingga tidak terjadi chemistry
yang membuat suasana bermain menjadi hidup.
- Lepaskan idealism dan judgment.
Idealisme dan judgment membuat kita cenderung menilai segala sesuatu dan
akhirnya kehilangan minat untuk bermain karena segala sesuatu diukur pakai
kaca mata penilaian dan "apa kata orang lain"
- Berusahalah. Banyak
permainan murah dan asik bisa dilakukan jika kita sebagai orang dewasa mau
mengupayakannya terlebih dahulu. Misalnya, ingin bermain sambil melakukan
percobaan sederhana di rumah, maka orangtua atau pendamping perlu
menyiapkan bahan-bahannya, dengan dibantu oleh anak agar keterlibatan itu
terbangun sejak awal. Tanpa usaha, maka permainan yang murah dan mendidik
tidak akan terwujud.
- Bergeraklah. Banyak permainan
sederhana yang bisa terwujud jika kita mau bergerak. Persoalannya dewasa
ini orang dewasa cenderung malas bergerak, namun lebih banyak menghabiskan
waktu pada komputer, handphone maupun televisi atau smartphone
lainnya.
- Biasakanlah. Buatlah agar
bermain dengan anak menjadi sebuah kebiasaan dan kebutuhan kedua belah
pihak. Ikatan emosional akan terjalin dengan sendirinya ketika kita
memberikan diri kita sepenuhnya sebagaimana anak-anak memberikan diri
mereka sepenuhnya pada "that very moment". Ikatan itu lah
yang akan membuat hubungan orangtua-anak menjadi hubungan yang terbuka dan
saling menghargai, saling mengerti dan mendukung; orangtua dan anak adalah
satu team.
Beberapa jenis permainan yang
solutif
- Membuat percobaan ilmiah yang
sederhana, dengan bahan-bahan yang tersedia di rumah. Permainan percobaan
ini tidak hanya menyenangkan tapi juga mendidik.
- Bermain instrument musik
dengan perlengkapan dapur atau benda-benda yang aman lainnya. Membuat
sendiri alat music juga menyenangkan dan bisa digunakan terus menerus.
- Bermain bowling dengan
botol bekas dan bola
- Bermain basket dengan ember
digantung dan bola yang ringan
- Bermain bulu tangkis
- Tebak kata maupun teka-teki
- Bermain peran seperti pemadam
kebakaran, piknik ke kebun binatang, polisi penjaga pantai, polisi lalu
lintas, little chef, dsb
- Bermain lego, catur, ular
tangga dan monopoli serta permainan sejenis lainnya. Kita bisa membuat
sendiri ular tangga atau monopoli dengan tantangan yang lebih
menarik.
- Treasure hunting, dengan menggambar peta sendiri dan menyembunyikan
beberapa harta karun di sudut-sudut rumah.. Permainan ini bisa dimainkan
secara kelompok, cocok untuk liburan atau pesta.
- Membuat kue, yang tidak
membutuhkan api dan kompor, atau dibantu orang dewasa pada saat memanggangnya
- Art and craft dengan bahan
bekas, misal kotak tissue yang tak terpakai, daun kering, dsb
- Bercocok tanam di polybag dan
memelihara tanaman maupun binatang peliharaan
- Bermain dengan kaca pembesar
untuk melihat benda-benda lebih dekat
- Bermain lompat tali atau
permainan tradisional seperti congklak, bola bekel, dsb
- Bermain outdoor seperti
berenang, sepeda, sepatu roda, skate board, hingga latihan memanjat
pohon (jika masih ada pohon yang bisa dipanjat).
Banyak permainan yang bisa
dilakukan, namun semua membutuhkan usaha dan kemauan terutama dari pihak
orangtua atau pengasuh. satu hal yang perlu diketahui pula, bahwa pada dasarnya
jika orangtua ikut berpartisipasi dalam permainan anak-anak mereka, orangtua
juga akan merasakan manfaat yang besar bagi tubuh dan jiwa mereka. Bermain bagi
orang dewasa juga bermanfaat untuk merevitalisasi kembali energi, mengobati stress,
menumbuhkan kreativitas, harapan dan impian, mengatasi rasa kesepian dan
kesedihan, serta meningkatkan daya tahan menghadapi tekanan dan kehidupan.
Masih banyak manfaat bermain lainnya bagi orang dewasa. Oleh karenanya, bagi
siapapun yang masih mempunyai anak kecil di rumah, bermainlah bersama agar chemistry
yang terjalin membangun energy positif bagi kedua pihak dan membangun karakter
anak yang lebih percaya diri dan positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar